BAB 1
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Diuretik berperan dalam penyembuhan beberapa penyakit, hal ini berkaitan dengan penyembuhan penyakit tertentu, terutama yang berhubungan dengan penurunan tekanan darah melalui pembuangan air dalam darah pada penyakit hipertensi dan pembuangan zat-zat tertentu pada penyakit ginjal (batu ginjal), serta asam urat tinggi, hiperkalsemia, diabetes insipidus (Permadi, 2002).
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan kedua menunjukkan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat-zat terlarut dan air. Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan udema, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali menjadi normal (Sunaryo, 1995).
Walaupun kerjanya pada ginjal, diuretik bukan ”obat ginjal”, artinya senyawa ini tidak dapat memperbaiki atau menyembuhkan penyakit ginjal, demikian juga pada pasien insufisiensi ginjal jika diperlukan dialisis, tidak akan dapat ditangguhkan dengan penggunaan senyawa ini (Mutschler, 1991) .
Beberapa diuretika pada awal pengobatan justru memperkecil ekskresi zat-zat penting urin dengan mengurangi laju filtrasi glomerulus sehingga akan memperburuk insufisiensi ginjal. Dengan demikian obat yang dapat digunakan secara terapetik hanyalah yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi gerakan air dan elektrolit dalam organisme. Pengaruh terhadap proses transport hanya seakan-akan saja khas terhadap ginjal. Karena konsentrasi diuretika pada saat melewati nefron meningkat dengan hebat, maka efeknya pada ginjal (efek diuretika) dibandingkan efek pada organ lain lebih dominan. Jika pada peningkatan ekskresi air terjadi juga peningkatan garam-garam, maka diuretika ini dinamakan saluretika atau natriuretika (diuretika dalam arti sempit) (Mutschler, 1991).
Furosemida merupakan kelompok diuretika kuat yang telah teruji secara medis ilmiah. Sebagai diuretika kuat, furosemida merupakan obat yang paling sering digunakan di Indonesia, yaitu sekitar 60% dibandingkan dengan diuretika kuat yang lain. Hal ini terjadi karena mula kerja, waktu paruh dan waktu kerja relatif singkat sehingga efek diuretikanya cepat timbul dan sangat cocok digunakan untuk keadaan akut namun sangat disayangkan pemakaian furosemida dapat menimbulkan efek samping gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, terutama ion Natrium dan Kalium. Kedua ion ini banyak yang dieksresikan sehingga menimbulkan hiponatrinemia dan hipokalemia (Sulatri dalam Agoes, 1992; Ganiswara, 1995; Mutschler, 1991).
Oleh karena efek samping obat furosemida yang berupa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit maka digunakan tanaman obat. Diuretik yang berasal dari tumbuhan diharapkan akan lebih aman dibanding obat sintetik.salah satu tumbuhan yang secara empiris berkhasiat diuretik adalah ceplukan (physalis angulata L.), daun nya dapat digunakan sebagai obat bengkak, peluruh air seni (diuretik) dan memperbaiki pencernaan pada anak-anak (Hutapea, 1994).
Tanaman obat telah terbukti aman dikonsumsi karena sudah berabad-abad lamanya dikonsumsi oleh nenek moyang kita. Tidak pernah ditemukan sejarah satu generasi hilang gara-gara mengkonsumsi tanaman obat. Tanaman obat lebih murah karena bisa ditanam sendiri, dicari dikebun-kebun, dan harga yang sangat murah jika dibandingkan dengan obat kimia (Permadi, 2002).
Tanaman ceplukan berkhasiat sebagai pereda demam, penghilang nyeri, peluruh kencing (diuretik), kencing manis (diabetes melitus), anti toksik dan pereda batuk (Dalimartha, 2006). Efek diuretik dari tanaman ceplukan dibuktikan oleh Azizah (2005), ekstrak air daun ceplukan konsentrasi 10 % b/v (1,25 g/ kg BB) memberikan efek diuretik pada tikus putih jantan galur Wistar. Dalam penelitian tersebut senyawa yang diuji bersifat polar. Untuk melanjutkan penelitian tersebut perlu diteliti apakah senyawa yang bersifat polar dari ekstrak daun ceplukan dengan penyari dengan etanol 70 % mempunyai efek diuretik.
Senyawa flavonoid mempunyai aktivitas biologis yang bermacam-macam diantaranya sebagai antivirus, antihistamin, diuretik, antihipertensi, bakterisida, estrogenik, mengaktivasi enzim, dan lain-lain (Geissman, 1962).
Metode penyarian yang dipakai pada penelitian ini adalah maserasi. Maserasi digunakan untuk penyariaan simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut (Anonim, 1986 ; Ansel, 1989).
Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah etanol 70%, hal ini dikarenakan senyawa flavonoid larut dalam etanol, aseton, dan metanol 80%. Pelarut tersebut sering dipakai untuk identifikasi flavonoid, pengekstraksian kembali larutan dalam air dengan pelarut organik yang tidak bercampur dengan air tetapi agak polar sehingga sering kali bermanfaat untuk memisahkan senyawa golongan ini dari senyawa yang lebih polar seperti karbohidrat (Robinson, 1995).
Penelitian ini menggunakan hewan uji tikus, sebab tikus relatif resisten terhadap infeksi, tikus tidak begitu fotofoik seperti halnya mencit, aktifitasnya tidak terganggu oleh adanya manusia disekitarnya (Sugiyanto, 1995).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah ekstrak etanol 70% daun ceplukan mempunyai efek diuretik pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar?
2. Seberapa besar dosis ekstrak etanol 70% daun ceplukan yang menunjukkan efek diuretik pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah :
1. Mengetahui efek diuretik ekstrak etanol 70 % daun ceplukan terhadap tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar.
2. Mengetahui dosis ekstrak etanol 70% daun ceplukan yang menunjukkan efek diuretik pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar.
D.Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan ekstrak etanol 70% daun ceplukan (Physalis angulata L.) mempunyai efek diuretik terhadap tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar, untuk mengetahui dosis ekstrak etanol 70% daun ceplukan yang menunjukkan efek diuretik pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Wistar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Ceplukan (Physalis angulata L.)
1. Sistematika tanaman
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisio : Angiospermae
Classis : Dicotiledonae
Sub Classis : Sympetalae
Ordo : Solanales
Familia : Solanaceae
Genus : Physalis
Species : Physalis angulata L
(Van Steenis, 1997)
2. Nama lain
Nama tanaman Ceplukan pada berbagai daerah di Indonesia yaitu Ceplukan (Melayu), Leletop (Sumatra Timur), Ciplukan, Ceplokan, Ceplukan sapi, Ciciplukan (Jawa), Cecenet, Cecendetan, Cicindit (Sunda), Nyornyoran, Yoryoran(Madura), Keceplokan, Ciciplukan, Angket (Bali), Kenampok, Dedesan (Sasak), Lapunonat (Seram), Daun boba (Ambon), Dagameme (Ternate), Daun loto-loto (Makasar), Leletokan (Minahasa) (Dalimartha, 2006).
3. Morfologi ceplukan
Tanaman ceplukan ini paling banyak terdapat di Kabupaten Parahyangan
(Heyne, 1987). Herba ceplukan tegak dengan tinggi 0,1-1 m. Batang tanaman ceplukan berusuk bersegi tajam dan berongga. Ceplukan memiliki helaian daun bulat telur memanjang bentuk lanset, tangkai bunga tegak dengan ujung yang mengangguk dan Mahkota berbentuk lonceng lebar. Tangkai sari tanaman ceplukan berwarna kuning pucat dengan kepala sari seluruhnya biru muda. Buah ceplukan berbentuk buni bulat memanjang pada waktu masak kuning (Van Steenis, 1997).
4. Kegunaan ceplukan
Tanaman ceplukan berkhasiat sebagai pereda demam, penghilang nyeri, peluruh kencing (diuretik), kencing manis (diabetes melitus), anti toksik dan pereda batuk(Dalimartha, 2006). Tanaman ceplukan juga digunakan sebagai obat antidiabetes,hipertensi, asam urat, pembengkakan testis, influenza dan radang tenggorokan (Wijayakusuma, 2004).
Penggunaan herba ceplukan secara tradisional yaitu 15 gram herba segar dalam 3 gelas air kemudian direbus hingga airnya tinggal satu gelas lalu disaring dan di minum (Hariana, 2007). Akar ceplukan digunakan sebagai obat cacing dan penurun demam. Daun ceplukan digunakan untuk penyembuhan patah tulang, bisul, borok, penguat jantung, keseleo, nyeri perut, kencing nanah (Sudarsono dkk., 2002).
Buah ceplukan digunakan sebagai obat gusi berdarah, obat bisul dan obat mulas, sedangkan daunnya berkhasiat sebagai obat bisul (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).
5. Kandungan kimia
Kandungan zat aktif pada tanaman Ceplukan yaitu buah Ceplukan mengandung saponin dan flavonoid. Daun Ceplukan mengandung senyawa asam sitrat, fisalin sterol/terpen, saponin, flavonoid, alkaloid (Anonim, 1995). Kulit buah mengandung senyawa C27H44O-H2O. Cairan buah Ceplukan mengandung zat gula, dan biji Ceplukan mengandung asam elaidat (Dalimartha, 2006). Physalis angulata L. mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol (Depkes 2000).
5.1 Saponin. Senyawa aktif permukaan yang kuat menimbulkan basa jika dikocok dalam air (Robinson 1995). Saponin mempunyai rasa pahit yang menusuk biasanya menyebabkan bersin atau iritasi terhadap selaput lendir bersifat racun terhadap binatang berdarah dingin seperti ikan, bersifat hemolitik dan dapat membentuk larutan koloidal dalam air, membentuk busa yang mantap pada penggojokan, sering digunakan sebagai deterjen. Selain itu, juga meningkatkan absorbsi diuretika, serta merangsang kerja ginjal.
5.2 Flavonoid. Senyawa polifenol yang mengandung 15 atom karbon yang tersusun dalam 2 cincin benzen yang dihubungkan oleh 3 atom karbon cincin alifatik sebagai pembentuk kerangka dasar C6 - C3 - C6 artinya kerangka karbonnya terdiri dari 2 gugus C6 (cincin benzen tersubstitusi) disambungkan oleh rantai alifatik 3 karbon (Robinson, 1995).
Flavonoid mempunyai 2 (dua) bentuk flavonoid yaitu yang terdapat dalam bentuk bebas (aglikon) dan dalam bentuk terikat gula (glikosida). Sebagian besar terdapat dalam bentuk glikosida, baik mono, di, triglikosida (Harborne, 1987).
Penggolongan flavonoid berdasarkan atas penambahan rantai oksigen heterosiklik dan perbedaan distribusi dari gugus hidrofilnya. Perbedaan oksidasi dibagian atom C menentuka sifat, khasiat, dan golongan atau type dari flavonoid. Klasifikasi flavonoid berdasarkan perbedaan rantai C3 yaitu = flavon, flavonol, flavonon, flavononol, isoflavon, auron, dan calcon. Bagian terbesar yang sering ditemukan dalam tanaman adalah flavon dan flavonol (Harborne, 1987).
Senyawa flavonoid mempunyai aktivitas biologis yang bermacam-macam diantaranya sebagai antivirus, antihistamin, diuretik, anti hipertensi, bakteriosida, estrogenik, mengaktivasi enzim, dan lain-lain (Geissman, 1962).
Kelarutan flavonoid berbeda-beda terhadap berbagai pelarut sesuai dengan golongan substitusinya. Pelarutan ini disebabkan karena polaritas yang berbeda-beda. Dalam memilih pelarutnya tidak hanya tergantung pada kandungan zat aktif
yang diselidiki tetapi juga bagaimana substansi tersebut diambil (Harborne, 1987).
5.3 Polifenol. Polifenol merupakan inti benzen yang mempunyai gugus hidroksi lebih dari satu. Senyawa-senyawa polifenol sederhana, misalnya hidrokuion, resorsinol, dan pirokatekol. Polifenol jarang ditemukan dalam tumbuhan tinggi. Senyawa-senyawa yang paling banyak ditemukan adalah arbutin dan metil eter (Manitto, 1992). Senyawa polifenol merupakan bahan polimer paling penting dalam tumbuhan dan cenderung mudah larut dalam air karena berikatan dengan gula sebagai glikosida (Harborne, 1987).
B.Diuretika
1.Definisi diuretik
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat-zat terlarut air (Sunaryo, 1995).
2.Pembentukan urin
Fungsi utama ginjal adalah untuk mengeluarkan semua zat asing atau toksis dari tubuh, umpamanya obat-obat serta hasil penguraiannya, dan sisa pertukaran zat dari tubuh sendiri. Pengeluaran zat-zat ini terjadi sebagai larutan dalam air kemih.
Ginjal adalah organ tubuh yang terpenting untuk mengatur homeostatis. Yang dimaksudkan suatu kesetimbangan dinamis antara cairan di dalam dan di luar sel-sel yang terutama sekali tergantung dari pertukaran Na+. Ion-ion ini terutama berada di luar sel dalam cairan antara sel dan dalam plasma darah, sedangkan ion kalium adalah sebaliknya (Tan dan Rahardja, 1991)
Pembentukan urin dari darah dalam batas yang sederhana terdiri dari filtrasi glomerulus, reabsorpsi dan ekskresi selektif dari tubulus. Proses diuresis dimulai dengan mengalirnya darah kedalam gumpalan pembuluh darah (glomerulus) yang terletak di bagian kulit (korteks) dari ginjal.
Dinding-dinding glomeruli ini bekerja sebagai saringan yang halus secara pasif menahan sel-sel darah merah dan zat-zat putih telur, tetapi dapat ditembus oleh air, garam-garam dan glukosa. Air saringan glomeruli (ultra filtrasi) yang diperoleh pada penyaringan ini mengandung elektrolit-elektrolit dari darah di samping banyak air ditampung di wadah-wadah (kapsula Bowman) yang mengelilingi tiap gumpalan seperti corong dan disalurkan melalui pipa-pipa kecil (tubuli).
Tubulus ini dibagi dalam bagian proksimal dan distal, sedangkan di antara dua bagian ini terletak suatu bagian lengkungan yang disebut ”Henle’s loop”. Disini terjadi penarikan kembali secara aktif dari air dan zat-zat kimia (glukosa dan sebagian garam-garam yang masih berguna bagi tubuh) dan dikembalikan ke darah melalui kapiler-kapiler yang meliputi tubuli tersebut. Zat-zat yang tidak berguna, seperti ampas-ampas penguraian dari metabolisme tidak diserap kembali. Dengan demikian, ultra filtrat yang tiap harinya dihasilkan rata-rata 180 liter untuk seorang dewasa, dipekatkan hingga menjadi lebih kurang 1 liter air kemih, sisanya lebih dari 99% direabsorbsi oleh tubuli (Tan dan Rahardja, 1991).
3. Penggolongan diuretik
Diuretik yang efektif untuk menghilangkan air dan natrium adalah sebagai berikut :
3.1.Diuretik tiazid
Tiazid bekerja pada tubulus kontortus distal ginjal, sesudah ansa Henle dengan meningkatkan ekskresi natrium, klor dan air. Tiazid dipakai untuk mengobati hipertensi dan edema perifer. Waktu paruh tiazid lebih panjang dari pada diuretik kuat. Tiazid terbagi dalam tiga kelompok sesuai dengan lama kerjanya : tiazid kerja pendek memiliki lama kerja kurang dari 12 jam; tiazid kerja menengah lama kerjanya antara 12-24 jam; dan yang bekerja lama memiliki lama kerja lebih dari 24 jam (Kee dan Hayes, 1996). Contohnya : hidroklorothiazida, klortalidon, mefrusida, indapamida, xipamida, dan klopamida (Tan dan Rahardja, 1991).
3.2. Diuretik Ansa Henle
Diuretik kuat bekerja pada ansa Henle dengan menghambat transport klorida terhadap natrium ke dalam sirkulasi (menghambat reabsorpsi natrium pasif). Garam natrium dan air akan keluar bersama dengan kalium, kalsium dan magnesium. Obat-obat ini hanya memiliki sedikit efek terhadap gula darah, tetapi kadar asam urat meningkat (Kee dan Hayes, 1996).
Obat-obat golongan ini sangat poten dan menyebabkan penurunan jumlah air dan elektrolit dalam jumlah besar. Efek dari diuretik ini berkorelasi dengan dosis yang berarti dengan meningkatnya dosis maka efek dan respon obat juga meningkat. Waktu paruh diuretik kuat bervariasi dari 30 menit sampai 1,5 jam. Waktu awal kerja dari diuretik terjadi setelah 30-60 menit. Efek samping yang sering dijumpai adalah ketidakseimbangan elektrolit dan cairan, seperti hipokalsemia, dan hipokloremia (Kee dan Hayes, 1996). Contohnya : furosemida, bumetanida, dan etakrinat (Tan dan Rahardja, 1991).
3.3. Diuretik hemat kalium
Diuretik hemat kalium dipakai untuk diuretik ringan atau dalam kombinasi dengan obat antihipertensi (contohnya spironolakton, triamterence). Obat-obat ini bekerja pada tubulus distal ginjal untuk meningkatkan ekskresi natrium dan air dan retensi kalium. Kalium direabsorpsi dan natrium diekskresi. Efek samping utama dari obat-obat ini adalah hiperkalemia (Kee dan Hayes, 1996).
3.4. Diuretik osmotik
Diuretik osmotik (contohnya manitol) dapat meningkatkan konsentrasi plasma dan cairan dalam tubulus ginjal. Diuretik osmotik dapat mengekskresikan natrium, klor, kalium, dan air. Golongan obat ini dapat mencegah payah ginjal, untuk mengurangi tekanan intrakranial (misalnya edema otak) dan untuk menurunkan tekanan intraokular (misalnya glaukoma) (Kee dan Hayes, 1996).
3.5. Penghambat anhidrase karbonik
Penghambat anhidrase karbonik (Contohnya asetazolamid, diklorfenamid, etoksilamid, dan metozilamid) menghambat kerja enzim anhidrase karbonik yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan asam-basa (keseimbangan ion hidrogen dan bikarbonat). Penghambatan enzim ini menyebabkan peningkatan pengeluaran natrium, kalium dan bikarbonat. Golongan obat ini terutama dipakai untuk menurunkan tekanan intraokular pada pasien yang menderita glaukoma kronik tetapi tidak dipakai pada glaucoma akut. Pemakaian yang lain adalah diuresis, penanganan epilepsi, dan pengobatan gangguan karena tekanan darah yang tinggi (Kee dan Hayes, 1996).
3.6. Diuretik merkuri
Obat-obat dalam golongan ini sifatnya mengiritasi saluran cerna. Oleh karena itu, diuretik merkuri sudah jarang dipakai sebagai obat diuretik (Kee dan Hayes, 1996).
Obat yang bekerja pada tubulus renalis bermanfaat dalam keadaan klinis yang melibatkan elektrolit abnormal atau metabolism air. Maka kerja masing-masing obat dipahami dalam hubungan ke tempat kerjanya di dalam nefron dan fisiologi normal segmen itu (Katzung, 2001).
4.Mekanisme diuretika
Mekanisme transport tubulus renalis dari obat tersebut adalah :
4.1. Tubulus proksimalis
Natrium bikarbonat, glukosa, asam amino dan solut organik lebih mudah direabsorpsi dalam bagian awal tubulus proksimalis karena konsentrasi solutnya menurun. Air direabsorpsi secara pasif untuk menjaga osmolalitas yang hampir konstan pada cairan tubulus proksimal. Konsentrasi larutan dalam lumen menurun terhadap konsentrasi inulin, suatu tanda bahwa eksperimental tidak disekresikan ataupun diabsorpsi oleh tubulus ginjal (Katzung, 2001).
Larutan yang direabsorpsi dalam tubulus proksimal yang paling relevan terhadap kerja diuretiknya adalah natrium bikarbonat dan natrium klorida. Reabsorpsi natrium bikarbonat oleh tubulus proksimal diawali dengan kerja pertukaran Na+ / H+ yang terletak pada membrane lumen dari sel epitel tubulus proksimal. Reabsorpsi bikarbonat di tubulus proksimal tergantung kepada aktivitas carbonic anhydrase (Katzung, 2001).
Larutan yang tidak permeabel (impereant) dalam jumlah yang besar seperti glukosa dan manitol hadir dalam cairan tubuler, reabsopsi air akan menyebabkan konsentrasi larutan meningkat pada suatu titik sehingga osmolalitas cairan tubuler meningkat dan reabsorpsi secara jauh lebih terhambat. Ini adalah mekanisme terjadinya diuretik osmosis (Katzung, 2001).
4.2. Ansa Henle (lengkungan Henle)
Pada perbatasan antara garis dalam dan luar dari bagian luar medula, merupakan awal dari cabang tipis ansa Henle. Cabang tipis ini tidak berpartisipasi pada reabsorpsi garam aktif tetapi memberi konsentrasi pada reabsorpsi air. Untuk itu cabang tipis ini adalah titik tangkap kerja tambahan untuk diuretik osmotik. Cabang meningkat yang tebal pada ansa Henle secara aktif mereabsorpsi NaCl dari lumen (sekitar 35% dari natrium tersaring). Sistem transport NaCl pada membran luminal cabang meningkat yang tebal adalah kotrasporter Na+/K+/2Cl. Penghambatan transport garam pada cabang meningkat yang tebal oleh diuretik ansa (loop) menyebabkan peningkatan ekskresi urine kation-kation divalen selain terhadap NaCl (Katzung, 2001).
4.3.Tubulus berbelit distal
NaCl yang direabsorpsi tubulus berbelit distal (distal convoluted tubule) lebih sedikit jumlahnya (hanya sekitar 10% dari NaCl tersaring). Bagian ini tidak permeabel air, dan reabsorpsi NaCl secara lebih jauh mengencerkan cairan tubulus. Transport NaCl dilakukan oleh diuretik dari kelompok tiazid (Katzung, 2001).
4.4. Tubulus pengumpul
Tubulus pengumpul adalah sebuah tempat yang terdapat berbagai mineralokortikoid menampakkan pengaruh yang signifikan atau tempat utama dari sekresi kalium oleh ginjal dan tempat terjadinya semua perubahan-perubahan metabolisme kalium yang disebabkan diuretik. Tubulus pengumpul/kolektor bertanggung jawab hanya 2-5% dari reabsorpsi NaCl oleh ginjal, selain itu juga bertanggungjawab pada menentukan konsentrasi Na+ dalam urin (Katzung, 2001).
Hormon ADH juga bekerja di tubulus pengumpul dengan jalan mempengaruhi permeabilitas bagi air dari sel-sel saluran ini (Tjay dan Rahardja, 2002).
5. Penggunaan diuretik
5.1. Edema
Jika terjadi kelebihan air di jaringan–jaringan misal pada dekompensasi jantung setelah infark, dimana peredaran tadi berlangsung sempurna lagi dan air tertimbun di paru–paru, atau pada ascites (busung perut) dimana air tertumpuk di rongga perut serta pada penyakit ginjal (insufisiensi) (Tan dan Rahardja 1991).
5.2. Hipertensi
Guna mengurangi volume darah seluruhnya hingga tekanan darah turun. Di samping itu diduga diuretik umum berkhasiat langsung pada pembuluh darah. Diuretika memperkuat efek obat hipertensi maka biasanya digunakan dalam bentuk kombinasi dengannya.
5.3. Diabetes Insipidus (berkemih berlebihan tanpa adanya gula).
Diuretik justru mengurangi polyuria secara paradoksal.
5.4. Batu Ginjal
Guna membantu mengeluarkan endapan-endapan kristal dari ginjal dan saluran kemih (Tan dan Rahardja 1991).
5.5 Hiperkalsemia
Obat ansa Henle dapat memperoleh peningkatan ekskresi Ca ke dalam urin dengan pengurangan dalam kadar Ca serum. Efek ini sangat bermanfaat dalam terapi akut hiperkalsemia. Penghambatan fungsi pars asenden tebal juga menyebabkan ekskresi jelas bagi NaCl, air, K+, dan Mg2+. Deplesi volume cairan ekskresi harus dicegah untuk menjamin diteruskannya respon diuretik (Katzung 1989).
6. Efek samping umum :
Efek samping umum dari diuretika yang sering terjadi adalah :
6.1. Kehilangan kalium : semua diuretika yang bekerja dimuka tubuli sebagai distal ujung memperbesar ekskresi ion-ion K+ dan H+ karena ditukarkan dengan ion Na+ yang kadarnya 3 mMol/liter. Pencegahan kehilangan kalium dapat dilakukan dengan menelan diuretika secara intermitten (berkala) dan bersama suatu zat penghemat kalium.
6.2. Hiponatremia dan alkalosis : akibat diuresis yang terlalu pesat dan kuat seperti halnya dengan diuretika lengkungan, maka kadar natrium-plasma dari plasma dapat menurun keras dan terjadinya hiponatremia. Gejala-gejalanya ialah gelisah, kejang-kejang otot, haus, letargi (sering mengantuk), juga kolaps. Terutama orang-orang lanjut usia peka untuk dehidrasi, maka sebaiknya diberikan dosis pemula yang rendah, yang berangsur-angsur dipertinggi, atau obat diberikan secara berkala, misalnya 3-4 kali seminggu.
6.3. Mengurangi metabolisme glukosa, penurunan metabolisme glokosa dapat mengatasi diabetes hingga dapat terjadi diabetes (yang laten), mungkin karena menekan sekresi insulin. Terutama tiazida terkenal untuk ini, efek anti diabetika oral diperlemah olehnya.
6.4. Retensi urat dan hiperurikemia: dapat terjadi pada semua diuretika terkecuali amilorida. Sebabnya diduga karena adanya saringan antara diuretik dengan asam urat mengenai transpornya di tubuli. Terutama klortalidon memberikan resiko lebih tinggi untuk retensi urat dan serangan encok. Pencegahan dapat dilakukan dengan obat alopurinol atau zat penghalau asam urat yaitu probenesid.
Efek samping yang lain adalah gangguan lambung usus (mual, muntah, diare), rasa letih, nyeri kepal , pusing-pusing dan jarang-jarang reaksi kulit (Tan dan Rahardja 1991).
C. Furosemid
Gambar 1. Struktur kimia Furosemid
Furosemid merupakan turunan sulfonamid yang berdaya diuretik kuat dan bertitik kerja di lengkungan bagian menaik, sangat efektif pada keadaan edema di otak dan paru-paru yang akut (Tjay dan Rahardja, 2002).
Furosemid adalah diuretik kuat terutama bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi elektrolit di ansa Henle bagian epitel tebal; tempat kerjanya di permukaan sel epitel bagian luminal (yang menghadap ke lumen tubuli). Diuretik kuat meningkatkan ekskresi asam yang dapat dititrasi dengan amonia. Termasuk golongan diuretik kuat yaitu asam etakrinat, furosemid, bumetamid. Furosemid lebih banyak digunakan dari pada etakrinat karena gangguan cerna yang lebih ringan dan kurva responnya kurang curam (Sunaryo, 1995).
Masa kerja furosemid biasanya 2-3 jam, sedang waktu paruhnya bergantung pada fungsi ginjal. Karena agen ansa bekerja pada sisi luminal tubulus, respon diuretik berkaitan secara positif dengan ekskresi urin. Sebagai efek diuretiknya agen ansa diduga mempunyai efek langsung pada peredaran darah melalui tatanan beberapa vaskuler. Furosemid meningkatkan aliran darah ginjal dan mengakibatkan redistribusi aliran darah di dalam korteks ginjal (Katzung, 2001).
Ketersediaan hayati furosemid 60% (berkurang bila bersamaan dengan makanan), volume distribusinya 0,11/kg (pada bayi baru lahir 0,81/kg), waktu paruh plasma 1,5 jam, 90% dieliminasi ginjal tanpa dirubah (terutama sekresi tubuler), 10% dimetabolisme di dalam hati (Widodo, dkk., 1993).
Dosisnya 40 mg/hari (kadang perlu dinaikkan sampai 500 mg/hari), pada gagal ginjal maksimal sampai 2 gram/hari, pada anak-anak 1,2 mg/kg/hari bila perlu dapat dinaikkan (Widodo, dkk., 1993).
D. Penyarian
Penyarian adalah penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan mentah obat dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehingga zat yang diinginkan akan larut. Pemilihan sistem pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus berdasarkan kemampuannya dalam melarutkan jumlah yang maksimal dari zat aktif dan seminimal mungkin bagi unsur yang tidak diinginkan (Ansel, 1989).
Cairan penyari yang dipilih adalah etanol karena mempunyai sifat mampu mengekstraksi senyawa polar maupun non polar, tidak toksik, tidak ditumbuhi mikroba serta mudah diuapkan. Keuntungan lainnya adalah sifatnya mengendapkan bahan putih telur dan menghambat kerja enzim serta menghasilkan suatu bahan aktif yang optimal dimana bahan pengotornya sebagian kecil larut dalam cairan pengekstraksi (Voigt, 1994).
1. Ekstrak
Ekstrak merupakan sediaan kering, kental, cair, dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok diluar pengaruh cahaya matahari langsung (Anief, 2000).
Ekstrak berdasarkan konsistensinya dibedakan menjadi tiga, yaitu ekstrak cair, ekstrak kental, ekstrak kering. Ekstrak cair merupakan sediaan cair hasil dari penyarian simplisia. Ekstrak kental merupakan sediaan kental yang dibuat dari simplisia kemudian diuapkan pelarutnya. Ekstrak kering merupakan sediaan yang berbentuk bubuk yang dibuat dari hasil tarikan simplisia yang diuapkan dengan pelarut hingga kering (Voigt, 1994).
2. Simplisia
Simplisia adalah bentuk jamak dari kata simpleks yang berasal dari kata simple berarti satu atau sederhana. Istilah simplisia dipakai untuk menyebut bahan-bahan obat alam yang masih berada dalam wujud aslinya atau belum mengalami perubahan bentuk, kecuali dinyatakan lain umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan (Anonim, 1979).
3. Maserasi
Maserasi berasal dari kata macerare yang artinya mengairi, melunakkan, merendam. Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana, paling baik digunakan untuk bahan sampel yang berupa serbuk simplisia yang halus yang disatukan dengan bahan ekstraksi. Metode ini lebih murah, mudah dilaksanakan dan tidak memerlukan energi atau panas. Cocok untuk bahan yang dapat rusak oleh pemanasan, akan tetapi membutuhkan waktu ekstraksi yang cukup lama (Voigt, 1994). Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan akan menembus dinding sel dan masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif didalam dan diluar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan yang diluar dan didalam sel (Ansel, 1989).
Maserasi serbuk simplisia yang akan diekstraksi biasanya ditempatkan pada wadah atau bejana yang bermulut lebar, bersama dengan cairan penyari yang telah ditetapkan, bejana ditutup rapat dan isinya dikocok berulang-ulang, lamanya biasanya berkisar 2-14 hari. Pengocokan memungkinkan pelarut segar mengalir berulang-ulang, masuk ke seluruh permukaan dari serbuk simplisia yang sudah halus (Ansel, 1989).
Ekstrak hasil maserasi dipisahkan ampasnya dengan menyaring atau menyari ampas yang telah dibilas bebas dari ekstrak dengan penambahan cairan penyari melalui ayakan atau saringan ke dalam seluruh ekstrak dalam wadahnya (Ansel, 1989).
4. Larutan penyari
Larutan penyari yang digunakan dalam melarutkan zat-zat aktif harus memenuhi beberapa kriteria. Pelarut yang digunakan harus murah, mudah didapat, stabil secara kimia maupun fisika, bersifat netral dan selektif (melarutkan zat-zat yang diinginkan), dapat mencegah bahan dari kontaminasi mikroba, tidak mudah terbakar.
4.1. Etanol. Etanol merupakan pelarut serbaguna yang digunakan untuk ekstraksi pendahuluan. Pelarut etanol dapat melarutkan alkaloid basa, minyak menguap, glikosida, antrakinon, flavonoid, steroid dan saponin (Depkes, 1987).
Campuran alkohol–air merupakan campuran bahan pelarut yang berbeda dan sering digunakan. Cairan pegekstraksi etanol 70% sangat sering didapatkan dari hasil bahan aktif yang optimal dimana bahan pengotor hanya skala kecil dalam cairan pengekstraksi. Keuntungan lain sifatnya menghambat kerja enzim (Voigt, 1994).
4.2. Etil asetat. Etil asetat merupakan pelarut semi polar, mudah menguap dan mudah terbakar, maka penyimpanannya dalam wadah tertutup dan terhindar dari panas. Etil asetat merupakan cairan jernih tidak berwarna pada suhu kamar dengan bau khas seperti buah, larut dalam 15 bagian air bercampur etanol dan eter, titik didihnya 760C. senyawa yang dapat larut kedalam pelarut ini adalah flavonoid (Harborne, 1987).
4.3. n-Heksan. merupakan Suatu hasil hasil penyulingan minyak tanah yang telah bersih terdiri suatu campuran rangkaian hidrokarbon, tidak berwarna atau pucat, transparan, bersifat volatile, mudah terbakar, bau karakteristik, tidak dapat larut air, dapat larut dalam alkohol, benzene, cloroform, eter. Uapnya mudah meledak bila berikatan dengan udara, sebaiknya disimpan di tempat dingin. Digunakan sebagai pelarut untuk lemak (Martindale, 1972).
E. Binatang percobaan
1. Sistematika tikus putih
Sistematika binatang percobaan menurut Sugiyanto (1995) adalah sebagai berikut :
Filum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Classis : Mamalia
Sub Classis : Placentalia
Ordo : Rodentia
Familia : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
2. Karakteristik utama tikus putih
Tikus putih relatif resisten terhadap infeksi dan sangat cerdas. Tikus putih pada umumnya tenang dan mudah untuk ditangani. Tikus putih tidak begitu bersifat fotofobik seperti halnya mencit, dan kecenderungan untuk berkumpul dengan sesamanya tidak begitu besar. Aktivitasnya tidak terganggu oleh adanya manusia di sekitarnya. Suhu tubuh normal 37,5oC, laju respirasi normal 210 tiap menit. Tikus putih bila diperlakukan kasar tikus menjadi galak dan sering menyerang si pemegang (Sugiyanto, 1995).
3. Jenis kelamin
Sumber variasi availabilitas sistemik, distribusi, dan kecepatan eliminasi obat-obatan pada umumnya jenis kelamin hewan tidak penting. Tikus jantan kecepatan metabolisme obat lebih cepat dibandingkan dengan tikus betina dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibanding tikus betina. Pada tikus betina secara berkala dalam tubuhnya mengalami perubahan kondisi seperti masa kehamilan, menyusui, dan menstruasi (Sugiyanto, 1995).
4.Teknik penanganan hewan uji dan pemberian obat secara oral
Pemegangan tikus biasanya dengan cara mengangkat tikus dari kandang pada pangkal ekornya dengan tangan kanan. Kemudian biarkan tikus mencengkeram alas kasar atau kawat, berikutnya luncurkan tangan kiri dari belakang tubuhnya atau punggungnya ke arah kepala. Selipkan antara jari tengah dan telunjuk pada tengkuk tikus, sedang ibu jari, jari manis dan kelingking (Sugiyanto 1995).
Pemberian obat secara oral dapat juga dilakukan dengan menggunakan jarum oral kanula yang dimasukkan ke dalam mulut kemudian perlahan diluncurkan melalui tepi langit-langit belakang sampai oesophagus. Pemakaian jarum ini harus hati-hati agar dinding oesophagus tidak tembus.
F. Landasan teori
Tanaman ceplukan berkhasiat sebagai pereda demam, penghilang nyeri, peluruh kencing (diuretik), kencing manis (diabetes melitus), anti toksik dan pereda batuk (Dalimartha, 2006). Efek diuretik dari tanaman ceplukan dibuktikan oleh Azizah (2005), ekstrak air daun ceplukan konsentrasi 10 % b/v (1,25 g/ kg BB) memberikan efek diuretik pada tikus putih jantan galur Wistar.
Kandungan zat aktif pada tanaman Ceplukan yaitu buah Ceplukan mengandung saponin dan flavonoid. Daun Ceplukan mengandung senyawa asam sitrat, fisalin sterol/terpen, saponin, flavonoid, alkaloid (Anonim, 1995).
Saponin tidak larut dalam pelarut non polar, paling cocok diekstraksi memakai etanol atau metanol panas 70-96% dan kemudian lipid dan pigmen dipisahkan dari ekstrak dengan memakai benzen (Harborne, 1987). Alkaloid dalam bentuk asam larut dalam pelarut polar seperti air dan etanol, sedangkan dalam bentuk basa larut dalam kloroform, eter, aseton, amonia, dan metilena klorida. Flavonoid larut dalam etanol, aseton, dan metanol 80%. Pelarut tersebut sering dipakai untuk identifikasi flavonoid, pengekstraksian kembali larutan dalam air dengan pelarut organik yang tidak bercampur dengan air tetapi agak polar sehingga sering kali bermanfaat untuk memisahkan senyawa golongan ini dari senyawa yang lebih polar seperti karbohidrat (Robinson, 1995). Polifenol larut dalam pelarut polar seperti air jika gugus hidroksil bertambah banyak, mudah larut dalam larutan hidroksida encer dalam air (Robinson, 1995).
Pada penelitian ini digunakan ekstrak yang didapat dari maserasi dengan menggunakan pelarut etanol. Pelarut etanol dapat digunakan untuk menyari zat yang kepolaran relatif tinggi sampai relatif rendah, karena etanol merupakan pelarut universal, etanol tidak menyebabkan pembengkakan membran sel, dapat memperbaiki stabilitas bahan obat yang terlarut dan juga efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal (Voigt, 1994). Sehingga memungkinkan zat aktif dapat tersari dengan penyari etanol ini. Dengan demikian kemungkinan ekstrak etanol tersebut juga mempunyai efek diuretik pada tikus jantan Wistar.
G. Hipotesis
Berdasarkan permasalahan yang ada, dapat disusun hipotesis dalam penelitian ini yaitu, ekstrak etanol 70 % daun ceplukan mempunyai efek diuretika pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.